pelajarnuparang.or.id, - Gelombang demonstrasi yang terjadi di sejumlah daerah Indonesia belakangan ini kembali memunculkan pertanyaan mendasar: sejauh mana negara benar-benar mendengar suara rakyatnya? Aksi-aksi turun ke jalan yang semestinya menjadi ruang artikulasi politik warga, justru berulang kali berubah menjadi ajang represi.
Puncaknya, publik dikejutkan oleh tragedi
memilukan: seorang pengemudi ojek online (ojol) terlindas mobil polisi saat
berlangsungnya demonstrasi. Rekaman dan kesaksian di lapangan menyebar luas di
media sosial, memperlihatkan betapa mudahnya nyawa rakyat menjadi korban di
tengah kerumunan. Apakah ini wajah demokrasi yang dijanjikan, atau justru
pengingat bahwa suara rakyat masih dianggap ancaman oleh kekuasaan?
Sejarah mencatat, demonstrasi adalah salah
satu pilar penting demokrasi. Ia adalah hak konstitusional yang dijamin
undang-undang. Namun, pola berulang di Indonesia menunjukkan bahwa aparat
sering kali lebih mengedepankan pendekatan represif daripada dialogis. Gas air
mata, pentungan, hingga kendaraan taktis lebih sering tampil di jalanan
ketimbang ruang komunikasi terbuka. Tragedi ojol hanyalah satu dari sekian
banyak bukti bagaimana sistem penanganan demo kita masih gagal melindungi
rakyat biasa yang bahkan bukan bagian dari demonstran.
Di titik inilah publik layak bertanya: di
manakah letak keberpihakan negara? Polisi, yang idealnya menjadi pengayom,
berubah wajah menjadi simbol ketakutan. Ketika aparat negara yang dibayar dari
uang rakyat justru melukai rakyat, sesungguhnya terjadi pembalikan fungsi
paling mendasar dari institusi keamanan.
Pemerintah dan DPR seolah lupa, bahwa setiap
teriakan di jalanan lahir dari ruang keputusasaan rakyat yang merasa tak lagi
punya saluran aspirasi formal. Menghadapi demo dengan kekerasan bukan hanya
melukai fisik, tetapi juga meruntuhkan legitimasi demokrasi itu sendiri.
Tragedi ojol yang terlindas mobil polisi
harusnya menjadi alarm keras bagi bangsa ini. Ia bukan sekadar “insiden
lapangan” yang bisa ditutup dengan konferensi pers, melainkan refleksi betapa
jauhnya jarak antara rakyat dan penguasa. Jika demonstrasi selalu dibalas
dengan represi, maka yang tersisa hanyalah demokrasi semu papan nama tanpa isi.
Kini, yang dibutuhkan bukan sekadar evaluasi
teknis, tetapi reformasi total cara pandang negara terhadap rakyatnya. Negara
harus belajar bahwa menekan suara rakyat hanya akan melahirkan perlawanan lebih
keras. Bila tidak, setiap tragedi akan terus berulang, dan sejarah akan
mencatat: demokrasi Indonesia gagal melindungi mereka yang paling lemah.
0Komentar
Beri Komentar