Bagi penduduk yang lahir dan besar di kota ini, Siantar adalah ruang yang penuh kenangan. Dari masa bersekolah, jalan-jalan kecil yang menemani langkah anak-anak menuju kelas, hingga suasana malam yang akrab dengan sapaan hangat “Ketua”, semua menjadi bagian dari identitas kultural yang sulit terpisahkan.
Di
tengah arus modernisasi dengan hadirnya kafe, pusat perbelanjaan, hingga
gedung-gedung baru, Pematangsiantar tetap menyimpan jejak sejarah panjang.
Bangunan kolonial yang masih berdiri kokoh di beberapa sudut kota menjadi
pengingat bahwa perjalanan Siantar tidak sebatas kota transit, melainkan bagian
penting dari narasi sejarah Sumatera Utara.
Awal Mula Pematangsiantar
Sejarah
kota ini berakar dari keberadaan Kerajaan Siantar yang dipimpin oleh
marga Damanik, salah satu marga utama Simalungun. Nama Tuan Sangnawaluh
Damanik dikenang sebagai raja terakhir sebelum Belanda mengambil alih
kekuasaan.
Secara
etimologis, kata Pematangsiantar berhubungan dengan bentang
geografis daerah ini. Dahulu wilayahnya disebut Pulau Holing, yang kini dikenal
sebagai Kampung Pematang. Dari sini, perkampungan kecil mulai tumbuh dan
berkembang menjadi beberapa wilayah yang masih ada hingga sekarang, seperti
Siantar Bayu, Suhi Kahean, dan Suhi Bah Bosar.
Masing-masing
daerah melahirkan kawasan baru yang kini menjadi bagian penting dari kota,
antara lain Kampung Melayu, Martoba, Sukadame, Bane, Kampung Kristen, hingga
Tomuan. Pertumbuhan ini menunjukkan kesinambungan sejarah yang diwariskan
kepada generasi masa kini.
Kerajaan
Siantar dikenal sebagai salah satu kerajaan kecil di Tanah Simalungun. Para
raja dari marga Damanik dihormati atas kepemimpinan dan kebijaksanaannya. Tuan
Sangnawaluh Damanik dikenang bukan hanya sebagai penguasa terakhir, tetapi juga
simbol perjuangan melawan kolonialisme.
Meskipun
kekuasaan kerajaan berakhir ketika Belanda masuk pada awal abad ke-20, garis
keturunan Damanik tetap mendapat penghormatan simbolis dari masyarakat. Hingga
kini, nama besar itu tetap melekat sebagai bagian dari warisan sejarah
Pematangsiantar.
Masa Kolonial Belanda
Tahun
1907 menandai berakhirnya pemerintahan tradisional di Siantar setelah Belanda
resmi mengambil alih. Periode ini membawa perubahan signifikan: Siantar menjadi
pusat pemerintahan kolonial dan menarik banyak pendatang dari etnis Tionghoa,
India, serta komunitas Melayu.
Pada 1
Juli 1917, berdasarkan Stadblad No. 285, Pematangsiantar ditetapkan
sebagai Gemeente atau kota. Struktur pemerintahan kemudian
diperbarui pada 1939 melalui Stadblad No. 717, menjadikannya salah satu
pusat administrasi penting di Sumatera Timur.
Hingga
kini, jejak arsitektur bergaya art deco masih terlihat, khususnya di kawasan
Jalan Merdeka. Bangunan tua itu menjadi saksi pertemuan dua era: masa kolonial
dan modernisasi kota.
Pendudukan Jepang
Kedatangan
Jepang pada 1942 menggantikan dominasi Belanda. Mereka membubarkan pemerintahan
kolonial dan membentuk sistem baru bernama Siantar State.
Meski
hanya berlangsung tiga tahun, masa ini meninggalkan trauma mendalam. Kerja
paksa, penyiksaan, dan kelangkaan pangan tercatat sebagai bagian dari sejarah
kelam. Namun masyarakat Siantar mampu bertahan melewati masa sulit itu, hingga
akhirnya menyongsong kemerdekaan Indonesia pada 1945.
Setelah
proklamasi, Pematangsiantar ditetapkan sebagai kota otonom. Statusnya semakin
menguat pada 1974 ketika ditetapkan sebagai kota tingkat II sekaligus ibu kota
Kabupaten Simalungun.
Kini,
wilayah administrasi kota terbagi menjadi delapan kecamatan, antara lain
Siantar Marihat, Siantar Barat, Siantar Utara, hingga Sitalasari. Pembagian
tersebut mencerminkan perkembangan kota sekaligus dinamika sosial yang semakin
kompleks.
Fenomena
sapaan “Ketua” telah menjadi ciri khas Pematangsiantar. Istilah ini tidak
sekadar panggilan akrab di warung kopi atau pasar, melainkan cermin dari kultur
egaliter masyarakat.
Bagi
warga Siantar, kata “Ketua” lebih bermakna sebagai simbol penghormatan dan
keakraban daripada status formal. Identitas sosial inilah yang membuat Siantar
berbeda dengan kota-kota lain di Sumatera Utara.
Salah
satu kekuatan utama Pematangsiantar terletak pada pluralitas masyarakatnya.
Selain Batak Toba dan Simalungun, ada pula komunitas Jawa, Minangkabau,
Tionghoa, India, hingga Aceh.
Data
sensus 2010 mencatat, mayoritas penduduk menganut Kristen (51,25%), diikuti
Islam (43,9%), sementara Buddha, Hindu, dan Konghucu juga hadir. Keharmonisan
ini tercermin dari berdirinya rumah ibadah beragam agama yang saling
berdampingan.
Bahasa
sehari-hari pun beragam: Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, Batak Toba dan
Simalungun di ranah lokal, serta Hokkien dan Tamil di lingkungan etnis
tertentu.
Pematangsiantar
juga dikenal dengan industri minuman legendaris Cap Badak, yang diproduksi
sejak 1916 oleh PT Pabrik Es Siantar. Minuman berkarbonasi ini diracik oleh
Heinrich Surbeck, seorang ahli kimia asal Swiss, dan hingga kini tetap menjadi
kebanggaan lokal.
Selain
itu, ikon transportasi khas kota ini adalah becak BSA. Motor besar
peninggalan Inggris berkapasitas 500 cc itu diubah menjadi becak bermotor yang
masih beroperasi hingga sekarang. Suara khas mesinnya menjadi penanda identitas
kota yang tak tergantikan.
Meski
dikenal sebagai kota transit menuju Danau Toba, Pematangsiantar memiliki
sejumlah destinasi wisata yang menarik, seperti:
- Taman Hewan
Pematangsiantar, rumah bagi satwa langka dan pepohonan tropis tua.
- Lapangan
Merdeka, ruang terbuka hijau dengan pohon-pohon besar.
- Vihara
Avalokitesvara, yang memiliki patung Dewi Guanyin tertinggi di Indonesia.
- Museum
Simalungun, pusat dokumentasi sejarah etnis Simalungun.
- Siantar Botanic
Park dan Siantar Waterpark, destinasi keluarga modern.
- Patung Becak
Siantar, monumen ikon transportasi kota.
Pematangsiantar
adalah kota yang berdiri di atas fondasi sejarah panjang: dari masa kerajaan,
kolonialisme, pendudukan Jepang, hingga kemerdekaan. Semua jejak itu masih bisa
dilihat dalam bangunan, tradisi, hingga cara masyarakat berinteraksi.
Namun
di sisi lain, modernisasi terus berkembang. Generasi muda aktif berkarya, pusat
belanja dan kafe tumbuh pesat, menjadikan Siantar sebagai kota yang dinamis.
Tantangan
utama ke depan adalah menjaga keseimbangan: merawat warisan sejarah sekaligus
tidak tertinggal dalam arus globalisasi.
Pematangsiantar
bukan sekadar nama di peta Sumatera Utara. Kota ini adalah rumah bagi
keberagaman etnis, ruang sosial yang egaliter, sekaligus saksi sejarah yang
membentuk identitas bangsa.
0Komentar
Beri Komentar