Ada orang yang belanja
karena butuh. Ada juga yang belanja karena ingin. Tapi ada satu kelompok lain,
yang jarang disebut: mereka yang belanja karena tidak tahu harus apa dengan
hidupnya. Mereka tidak lapar, tidak kekurangan, tidak sedang kekayaan. Mereka
hanya bosan. Hampa. Dan dunia digital menawarkan satu pelarian cepat: gesek
kartu.
Bukan untuk barangnya. Untuk perasaan bahwa mereka masih bisa memilih sesuatu.
Kadang seseorang menggesek kartu kredit bukan karena ingin
memiliki, tapi karena ingin merasa masih berarti. Barang datang seminggu
kemudian, tapi rasa bersalah datang lebih cepat. Namun anehnya, rasa bersalah
itu terkadang terasa lebih nyaman… daripada rasa kosong.
Belanja
yang Tidak Lagi Punya Alasan
Kita mengenal belanja
kebutuhan. Kita tahu belanja keinginan. Tapi ada belanja yang bahkan tidak
punya tujuan. Belanja yang tidak bisa dijelaskan. Belanja yang dimulai dari
satu kalimat:
“Aku tidak tahu mau ngapain… beli saja sesuatu.”
Pola ini sering muncul
diam-diam:
·
Beli
sesuatu tanpa alasan, lalu lupa kapan barang itu tiba
·
Menyimpan
paket tanpa membukanya selama berhari-hari
·
Beli
langganan digital hanya untuk melihat tulisan “Anda Premium”, lalu tidak pernah
dipakai
Yang dibeli bukan barang.
Yang dicari adalah rasa. Rasa bahwa hidup masih ada sedikit kejutan.
Ironi yang Tidak Pernah Kita Akui
Kita tahu barang itu tidak
perlu. Tapi kita tetap beli. Bukan karena tidak punya kontrol. Tapi karena
tidak punya arah.
Sepi
yang Disamarkan dengan Transaksi
Kesepian punya bentuk yang
aneh. Ia tidak selalu berarti sendirian. Bisa terjadi saat ramai, saat pesta,
saat tertawa. Tapi di dalam hati ada ruang kosong yang tidak bisa dijelaskan.
Dan bagi sebagian orang, belanja adalah cara untuk mengisi ruang itu, meski
hanya sebentar.
Seorang karyawan bisa
menggesek kartu jam dua dini hari. Bukan karena ia ingin sesuatu, tapi karena
dunia terasa terlalu diam.
Seorang ibu rumah tangga bisa memesan tiga barang berturut-turut, hanya untuk
melihat notifikasi “pesanan Anda sedang diproses”. Bukan karena butuh barang.
Tapi karena butuh sesuatu yang bergerak.
Belanja menjadi bukti
bahwa masih ada yang datang. Meski tidak ada yang benar-benar pergi.
Gesekan
yang Sebenarnya Adalah Teriakan
Banyak orang yang terlihat
baik-baik saja, sebenarnya sedang memanggil tolong - tapi dengan cara yang
aneh. Mereka tidak berkata, “Aku kesepian.” Mereka hanya berkata, “Biar aku
traktir.”
Ada pembelian yang tidak
ingin dipamerkan. Ada pembelian yang tidak ingin digunakan. Pembelian itu
dilakukan untuk melawan satu pertanyaan yang menakutkan:
“Apa aku masih punya alasan bangun besok?”
Kartu kredit memberikan
jawabannya: “Setidaknya kamu masih bisa membeli sesuatu.”
Bahaya Terbesar: Saat Rasa Bersalah Terasa Lebih Nyaman dari Kehampaan
Inilah jebakan terdalam.
Orang bukan takut hutang. Mereka takut hampa. Mereka memilih rasa bersalah
daripada rasa kosong. Karena rasa bersalah bisa ditunda. Rasa kosong tidak.
Pertarungan
di Dalam Diri: Antara Ingin Berhenti dan Ingin Lari Lagi
Ada malam ketika seseorang
berkata:
“Sudah cukup. Aku harus berhenti.”
Lalu keesokan harinya, saat hidup terasa berat, ia kembali berkata:
“Sekali lagi saja. Nanti aku perbaiki.”
Begitulah pelarian
bekerja. Ia tidak ingin diselesaikan. Ia ingin diulangi.
Ketika Jasa Pembayaran Jadi Pagar, Bukan Pelarian
Beberapa orang mulai sadar:
Masalah mereka bukan pada belanja, tapi pada cara mereka belanja.
Mereka mulai memilih untuk membayar langsung, bukan mencicil rasa.
Mereka menggunakan jasa pembayaran kartu kredit bukan
untuk melarikan diri, tapi untuk membangun batas: aku beli jika aku mampu hari
ini — bukan jika aku berharap mampu bulan depan.
Bukan solusi finansial.
Ini solusi mental. Cara berkata: “Aku ingin rasa tenang lebih dari rasa mewah.”
Penutup:
Kita Tidak Selalu Ingin Barang, Kadang Kita Ingin Alasannya
Orang sering mengira kita
membeli barang. Tidak. Kita sering membeli alasan. Alasan untuk merasa wajar.
Alasan untuk merayakan hidup. Alasan untuk menutupi kesunyian.
Dan satu hari nanti, akan
ada seseorang yang sadar:
“Aku tidak butuh barang. Aku butuh berhenti melarikan diri.”
Itulah titik ketika
gesekan berhenti terdengar seperti pelarian. Dan mulai terdengar seperti
keputusan.
0Komentar
Beri Komentar